Selasa, 18 Februari 2014
Iklan Politik vs Ruang Publik; Pesta atau Pasar
Oleh : Andi Harianto *)
Sumbo Tinaburko, menghentak publik dengan pernyataan kerasnya diberbagai media yang “menuduh” iklan politik para kontestan Pemilu lebih sebagai sampah dan teroris visual.
Sumbo yang adalah penggagas komunitas Resesik Sampah Visual menganggap iklan politik sebagai bentuk penjarahan ruang publik yang sejatinya dijadikan tempat yang nyaman bagi masyarakat untuk menikmati udara bebas dan pandangan yang lapang tanpa gangguan jerawat visual iklan politik para bakal calon wakil rakyat yang terhormat.
Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa ISI Yokyakarta ini menguraikan opininya dengan kritik yang santun. Keberangannya tersembunyi halus di balik ide kreatifnya untuk membebaskan ruang publik dari teror visual, yang menurutnya secara massif telah mengusik ketenangan visual jiwa sosial masyarakat.
Adakah semua dari kita sepakat bahwa benar “keberangan” Sumbo ini terasa secara massif oleh kita? Rasa-rasanya, iklan calon legislator ataupun para kandidat presiden memang seolah telah mengubah ruang publik kita dengan tempelan, tulisan, ikatan dan tindisan yang berjubel tak teratur dan sumpek.
Ataukah hanya “kita” yang merasa terganggu, sementara para calon pemilih (mayoritas) justru terbantu untuk mengenal calon pilihannya dan para calon juga merasa dimudahkan untuk mensosialisasikan diri gratis di ruang-ruang publik? Selalu akan menjadi perdebatan, tergantung pada sisi kepentingan apa kita memandangnya.
Sejumlah 12 Parpol nasional plus 2 Parpol Lokal Aceh telah meramaikan perhelatan politik 2014 ini, “keramaian” itu akan berdampak logis terhadap menjamurnya alat peraga kampanye, apalagi dalam regulasi saat ini waktu kampanye lebih panjang, yakni kurang lebih 15 bulan. Parpol dan calonnya, serta calon DPD ditambah bakal calon presiden memang telah memborbardir ruang-ruang publik maupun ruang privat dengan iklan politiknya.
Pemilu yang telah diibaratkan sebagai “pesta” ini memang akan berakibat banyaknya bendera, umbul-umbul, spanduk, baliho dan semacamnya. Di semua negara yang menganut demokrasi langsung juga demikian, bedanya terletak pada kreatifitas para kontestan Pemilu dalam memaknai kemeriahan pesta yang dimaksud, apakah menjadi tertib atau kumuh, hura-hura atau huru-hara.
Selain Pemilu yang telah diasosiasikan sebagai pesta, kini ibarat pemilu juga telah berubah menjadi “pasar” - ajang transaksional politik. Ada penjual, ada pembeli dan tentu iklan politik pasti menjadi alat promosi bagi para penjual untuk menggombal pemilihnya.
Pesta dan pasar, pada kenyataannya pastilah berakibat banyaknya “sampah”, tapi lebih dari itu, pesta demokrasi bagi saya dimaksudkan sebagai bentuk kemeriahan dan keceriaan dalam menyambut wakil rakyat dan pemimpin baru pembawa perubahan.
Kemeriahan pesta demokrasi ditandai dengan umbul-umbul, bendera-bendera dan alat peraga lainnya untuk menyambut hari H Pemilu. Pemilu, jikalau itu adalah pesta seharusnya penuh keceriahan, kesemarakan, kedamaian, keakraban, dan keindahan, walau tak dapat kita pungkiri bahwa Pemilu kita sebelum-sebelumnya justru seperti pesta yang rusuh, penuh caci maki (black campaign), kerenggangan hubungan antar masyarakat karena kepentingan dan iklan politik yang dipasang serampangan tanpa sentuhan keindahan.
Selain sebagai pesta, Pemilu yang juga dipersepsikan seperti pasar diopinikan hanya berkutat pada kepentingan untung dan rugi, transaksi sembako yang dibayar oleh pemilih dengan suara, praktek sogok dalam bentuk barang dan uang, serta para calon menjajakan dirinya mirip pedagang kaki lima yang tidak teratur di pinggir jalan. Mereka tidak peduli iklan diri mereka mengganggu pemandangan, terpaku dipohon-pohon, membentang dijalan penyebab kecelakaan, menempel di ruang-ruang publik, tetapi yang terpenting jualan diri mereka dapat dilihat oleh calon pemilihnya. Jika demikian, sungguh pemilu itu sangatlah egois.
Jikalau Pemilu diibaratkan sebagai pasar, seharusnya pencitraan diri dipromosikan dengan penuh perhitungan. Anda tahu, rata-rata pengeluaran Calon DPRD tingkat kabupaten untuk hanya promosi politik berupa baliho, sticker, spanduk, kartu nama, poster dan yang lainnya berkisar 15-30 juta. Belum termasuk iklan media cetak, elektronik serta biaya pertemuan kampanye terbatas dan rapat umum.
Pemberitaan salah satu media menyebutkan bahwa calon anggota DPRD Kabupaten agar terpilih paling sedikit merongoh kocek untuk promosi diri sebanyak 100 juta, jikalau ditambahkan dengan biaya logistik saat pertemuan dengan konstituennya, biayanya bisa mencapai angka 500 juta, hal ini menurut informasi yang penulis sendiri gali dari beberapa calon. Anda perlu tahu bahwa rata-rata pendapatan anggota DPRD Kabupaten berada pada kisaran 20 juta perbulannya, sudah termasuk biaya tunjangan.
Jikalau pendapatan perbulan anggota DPRD tersebut dikalikan dalam waktu 5 tahun, maka total pendapatan keseluruhan sebanyak 1,2 Milyar. Nah, hampir setengah dari total pendapatan seorang wakil rakyat selama 5 tahun diperuntukkan untuk membiayai kampanye, hal itu belum termasuk jikalau ada diantara mereka melakukan praktek kotor money politik untuk memenangkan dirinya.
Semua orang di negara ”bebas” kita saat ini, boleh memberi persepsi bagaimana memaknai demokrasi kita yang cenderung gaduh ini, termasuk saya sebagai pekerja pemilu di salah satu Kabupaten Kecil di Sulawesi Selatan. Tentu kita akan berharap bahwa iklan politik itu akan nyaman dipandang mata, tetapi juga kurang elok bagi saya jikalau memandang iklan politik para calon wakil rakyat kita ibarat sampah yang merusak mata.
Terlepas dari kesan kumuh, iklan politik yang ditebar para calon wakil rakyat kita, patut dimaklumi bahwa upaya penyebaran alat peraga pencitraan diri itu adalah bahagian dari proses demokrasi kita yang sementara berkembang ke arah yang diharapkan akan lebih baik. Patutlah kita semua memberi muatan positif agar pencitraan diri calon wakil rakyat kita termaknai sebagai upaya memberi pendidikan politik kepada rakyat yang juga berhak mendapatkan informasi tentang calon yang akan dipilihnya.
Komisi Pemilihan Umum juga telah memberi batasan bahwa Iklan politik ataupun penyebaran alat peraga kampanye perlu diatur agar tidak menganggu hak rakyat dalam menikmati ruang publik, berwawasan lingkungan dengan tidak merusak pohon, membebaskan taman dari alat peraga untuk kepentingan estetika, melarang fasilitas pemerintah sebagai sarana kampanye untuk penguatan netralitas penyelenggara negara serta melarang fasilitas agama sebagai tempat berkampanye agar kerukunan antara umat beragama tidak tergerus kepentingan politik.
Zona pemasangan alat peraga kampanye telah ditetapkan, batasan ukuran spanduk dan baliho serta ketentuan beriklan dimedia cetak-elektronik juga sudah diatur. Bahkan yang lebih penting, KPU juga sudah memberi batasan terkait sumbangan dana kampanye serta kewajiban bagi parpol untuk melaporkannya secara berkala kepada KPU sebagai bahan auditor untuk melacak sumber dana Parpol demi menghindari praktek korupsi pencucian uang untuk kepentingan kampanye.
Penetapan zona alat peraga kampanye dan mekanisme pelaporan dana kampanye sempat mendapat protes dari parpol karena kerumitannya, tetapi sekali lagi semua ini untuk mencipta Pemilu yang anti korupsi dan money loundry, berwawasan lingkungan, peduli dengan ruang publik, kepentingan estetika, kampanye tanpa fitnah dan tentunya yang lebih penting adalah proses pencerdasan pemilih, penciptaan kesadaran politik serta pemilu damai tanpa kebencian dan diskriminasi.
Mari kita memberi ruang bagi Parpol dan calonnya untuk berkampanye dalam kerangka regulasi yang telah diatur untuk memberi ruang yang luas kepada mereka mensosialisasikan visi, misi dan programnya kepada rakyat.
Sebagai proses pendidikan politik, biarkanlah rakyat untuk menentukan pilihan bebasnya, termasuk bebas menikmati ruang publik tanpa iklan politik yang mengganggu. Sudah seharusnya ruang politik, ruang publik serta ruang privat masing-masing terpisah untuk memberi hak kepada masing-masing pemiliknya untuk berfikir merdeka.
Bantaeng, 24 Januari 2014
Sumber Berita: sumbotinarbuko, kpu.go.id, solopos, republika, Riau24.co.id, detik.news, merdeka.com Sumber Gambar 1 : Media Centre KPU RI, Gambar 2 : pesatnews.com
*) Andi Harianto adalah anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bantaeng, Divisi Teknis Pemilu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar